Rindang hijau dedaunan menantang langit. Di bawah rindang itulah aku sering melepaskan lelah. Kutulis cerita, kurangkai puisi, terkadang kunyanyikan bait-bait yang tak kukenal.
Kubuat singgasanaku sendiri di bawah rindang itu. Kulantik barisan semut itu menjadi pengawal pribadiku. Tanah kerajaanku subur walau hanya pohon ini yang tumbuh di atasnya, disertai hijau rerumputan yang bersemak-semak.
Memang istanaku tak semegah nirwana. Ranting dan dedaunanlah yang memayungiku. Ku tak memiliki benteng yang melindungiku dari terpaan angin dingin.
Diriku nyaman dengan kehidupanku sendiri. Aku senang dengan dunia kecilku. Namun terkadang aku terkurung dengan kesendirianku.
Aku bodoh! Aku tidak bisa menjadi raja tanpa mahkota! Kubuat mahkota duriku sendiri, layaknya mahkota kristus yang Agung. Namum kuhargai diriku dengan mahkota daun nan elok, seperti yang dipakai kaisar romawi. Namun hatiku tetap hampa. Ada bagian hatiku yang belum terisi.
Kutatap ke atas langit. Aku lihat burung-burung hidup bahagia walaupun hanya memiliki sarang dan kicauannya. Kuperhatikan sarang Sang pemilik kicau merdu. Sesekali sang pejantan mengunjungi sarang itu. Sang betinapun sabar menjaga singgasananya.
Kebodohanku berlanjut. Aku tiada pernah tersadar bahwa ku butuh permaisuri. Kuamati seluruh betina yang lewat di depanku. Kambing betina, sapi betina, kerbau betina, kucing, anjing, itik, ayam, musang, biawak, tupai, lalat, nyamuk, cicak, tokek semuanya tiada yang menarik.
Akhirnya kebodohanku bertambah parah. Kulihat cacing menggeliat di hadapanku seperti perawan padang pasir menari perut. Bukannya ku senang malah hatiku bimbang. Aku tidak bisa menentukan jenis kelamin si cacing. Mungkin kegilaanku tiada pernah terhenti jika kilatan petir tak menyapu penglihatanku. Mataku silau terbersit cahaya, dan akhirnya detak jam kewarasanku berputar normal kembali.
Ingatlah raja, permaisurimu adalah wanita! Kuberganti arah singgasanaku. Kini ku menghadap matahari tenggelam, tampaknya langit sangat teduh di arah sana. Kulupakan mimpi akan permaisuri yang datang dari dunia binatang. Tak kuanggap lagi arah datangnya mentari, karena disanalah tempat binatang irasional itu muncul menawarkan diri menjadi permaisuriku.
Kucari wanita kuat, tukang jamu, pencari rumput, pembajak sawah, montir sepeda hingga pengantar susu kambing kuamati. Yang kudapat kegigihan mereka.
Kucari wanita rajin. Pemetik gandum, penjahit keliling, wanita pemulung, perawat lansia, pengantar koran, tukang sayur, penjual nasi hingga SPG door to door. Yang kulihat dari mereka adalah ketekunan.
Ku butuh wanita perkasa. Kulihat dukun beranak. Sudah tiada cukup jariku menghitung berapa kali ia melahirkan bayi mungil ke dunia. Yah, walaupun ibu yang mengeluarkan jabang bayinya, dukun beranak memegang peranan penting dalam melahirkan. Dukun beranak terlalu perkasa nampaknya bagiku.
Tiap hari kuubah sendiri kriteria permaisuriku. Kucari dan terus kucari. Mulai dari tukang batu, pengasah intan, pedagang ikan, sekretaris desa sampai wanita lesbian. Tak kudapatkan satupun wanita yang kuinginkan.
Hari berganti, panas hujan turun temurun dan tak terhitung lagi berapa kali burung-burung kecil buang air di kepalaku. Aku semakin renta, hatiku semakin rapuh, namun ruang hampa itu belum terisi juga.
Disaat ku tak bisa memikirkan dimana matahari akan terbit dan tenggelam, pohon nan rindang itu kini menyembah langit. Sama seperti diriku yang makin tua. Kerajaanku kini tinggal puing kayu kering. Dan akupun tersadar bahwa hariku akan sirna.
Kesimpulan :
lo gak bisa hidup sendiri di dunia lo. Walaupun lo nyaman dengan keadaan lo sendiri, lo menikmati masa autis lo, lo gak bisa menukarnya dengan dunia nyata.
Dan satu lagi, lo gak bisa memilih2 jodoh lo. Jodoh adalah suratan takdir yang gak mungkin bisa lo hindarin. Lo gak bisa memilih2 sifat mana yang lo mau dari pasangan lo.
"Disaat lo udah memutuskan sayang dengan seseorang, berarti lo udah memutuskan menerima orang itu lengkap dengan segala kebaikan dan keburukannya!"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar